Kegelisahan Kepala BKKBN Tentang Penduduk Usia 14 Tahun Yang Tak Sekolah dan Bekerja: Mereka Penanggung Jawab di Akhir Bonus Demografi 2035

 

JAKARTA, BKKBN --- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dokter Hasto, menyampaikan kegelisahannya terkait dengan penduduk usia di kisaran 14 tahun ke atas yang saat ini tidak sekolah dan tidak bekerja.

Pasalnya, merekalah yang akan menjadi penanggung jawab utama pada tahun 2035 di mana bonus demografi mencapai titik akhirnya di Indonesia.

Kegelisahan itu disampaikan dokter Hasto saat  memotivasi para penerima beasiswa dalam kegiatan Persiapan Keberangkatan Angkatan 234 LPDP dengan Tema Refleksi Merah Putih: Aku Pergi Untuk Kembali, Rabu (3/7/2024), di Jakarta.

Dalam kesempatan tersebut dokter Hasto mengingatkan tentang strategisnya tahun 2030 karena merupakan akhir dari konsep Sustainable Development Goals (SDGs) yang digadang oleh PBB. Tahun tersebut menjadi batu loncatan bagi Indonesia untuk menuju Indonesia emas di tahun 2045.

SDGs sendiri telah disepakati oleh 193 negara di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada  25 September 2015.  Indonesia turut mengadopsi dan melaksanakan konsep tersebut, setelah sejumlah indikator  Millennium Development Goals (MDGs) belum dicapai negara ini pada akhir dari pelaksanaan MDGs di 2015.

Menurut dokter Hasto, balita saat ini akan produktif di periode  2045. "Meski balita yang kita buat saat ini tidak stunting, kalau  dia menjadi orang yang cerdas dan hebat, bebannya tetap berat di tahun 2045 karena jumlah orang tua banyak, pendidikan dan ekonominya rendah," ujar dokter Hasto.

Untuk menghadapi kondisi kurang baik tersebut, menurut dokter Hasto,  kuncinya ada dua. Yakni, meningkatkan kualitas SDM dengan mengenyahkan stunting dan meningkatkan pendidikan. Berikutnya,  mereka yang saat ini berusia 14 tahun ke atas harus produktif.

Di bagian lain paparannya, dokter Hasto menyampaikan pengalamannya saat menjadi Bupati Kulon Progo, Provinsi DI Yogyakarta, dua periode. “Masyarakat saya itu borosnya setengah mati. Padahal kabupaten kami dikenal miskin. Lalu, saya cari data di BPS, seperti apa pola masyarakat saya," urai dokter Hasto.

Dokter Hasto menemukan jawabannya. "Ternyata belanja pertama itu padi-padian. Kedua, tembakau, rokok. (Belanja) rokok warga Kulon Progo mencapai Rp 96 miliar dalam setahun. Miskin tapi belanjanya besar sekali. Ini kehilangan yang tidak terasa. Tidak penting (rokok) tapi dibelanjakan."

Dokter Hasto pun gemas melihat kondisi tersebut. "Kenapa kita boros. Maka, saya buat Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok. Biar yang muda-muda, anak SMP dan SMA tidak merokok," ungkap dokter Hasto.

Keprihatinan dokter Hasto juga berangkat dari beratnya menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari desa. Sementara pertumbuhan ekonomi di kota tidak begitu dikhawatirkannya karena berlangsung 'autopilot'. Artinya, banyak investor walau kecil-kecil.

Direntang periode SDGs, dokter Hasto mengingatkan bahwa negara ini tengah berproses memasuki 'ageing population' dan pada 2035 jumlahnya signifikan, akan dipenuhi oleh generasi 'baby boom'. Ironisnya, pendidikan mereka rata-rata 8,4 tahun dan ekonominya menengah ke bawah.

"Ke depan itu generasi sandwich akan lebih sedikit. Oleh karena itu tahun paling berat adalah 2035," jelasnya.

Dikatakan, bahwa sebetulnya bangsa ini sudah meninggalkan bonus demografi karena puncaknya telah terjadi pada 2020 lalu, dengan 'dependency ratio' 44,3. Artinya, setiap 100 orang bekerja hanya memberi makan 44 orang.

"Jadi, kalau mau kaya sekarang ini. Kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita ya siapa lagi," tandasnya.

Dokter Hasto meminta agar kondisi ini dihayati dengan betul, karena bonus yang akan diperoleh bangsa ini akan berakhir  di 2035. "Sudah menyentuh garis batas untuk bonus demografi atau tidak.

Memang tidak merata antar satu provinsi dengan provinsi lainnya. Tapi hari-hari Ini banyak provinsi yang sudah memperoleh, seperti DIY, Bali, DKI Jakarta."

"Adolescent atau remaja saat ini  betul-betul yang akan menanggung bencana demografi atau memetiknya," ujar dokter Hasto, dengan menambahkan penyebab gagalnya bonus tersebut diraih. Antara lain, banyak  remaja menikah pada usia muda, putus sekolah, hamil berkali-kali, kematian ibu dan bayi tinggi.

Harapan dokter Hasto, jangan sampai penduduk menua sebelum kaya. "Kalau kita menua sebelum kaya, ageing population sudah terjadi, maka berbahaya, sebab kita tidak bisa kaya."

● Human Capital Index

Pada bagian lain, dokter kandungan dan kebidanan itu mengatakan bahwa mengukur dengan memakai metode 'Human Capital Index' (HCI) manjadi lebih populer dewasa ini. Ini karena yang menentukan produktifitas di lingkungan kerja adalah HCI.

Adapun ranking HCI  Indonesia berada di urutan keenam tingkat ASEAN. "High skill kita kalau diukur masih jauh. HCI sendiri akan mencerminkan kita mempunyai kemampuan skill yang tinggi, sedang atau rendah. Untuk mengejar high skill tidak hanya butuh IQ dan tidak stunting. Tapi juga butuh pengetahuan yang tinggi," terangnya.

Juga disampaikan, bahwa HCI juga memuat indikator 'stunted'. Termasuk kematian bayi atau balita. "Itu juga  menjadi variabel yang menentukan dalam Human Capital Index," ucapnya.

Selain HCI, dokter Hasto juga kembali mengingatkan sekaligus meminta waspada karena  mental disorder bangsa Indonesia  meningkat.  Saat ini terindikasi semakin banyak penduduk yang 'error'. Bahkan dokter Hasto, berdasarkan data yang didapat, berani mengklaim bahwa dari  100 anak remaja terdapat sembilan remaja dalam kondisi rada error.

Tentang angka perceraian di Indonesia, dokter Hasto berujar setiap tahun meningkat. Pada 2022 jumlahnya 516 ribu. Terdata, 70 persen perceraian diajukan pihak istri. Bukan faktor ekonomi penyebab perceraian.  Faktor utama adalah perbedaan pendapat kecil-kecil yang tidak selesai.

Disinggung pula tentang Indeks Prestasi (IP).  Diakui dokter Hasto, banyak mahasiswa memiliki IP tinggi tapi belum  memberikan daya ungkit yang bagus di lingkungan kerja karena 'soft skill'-nya kurang.

Menurutnya, di perguruan tinggi yang diberikan 90 persen adalah  'hard skill'. Sementafa soft skill sangat  sedikit. Ia merasakan juga hal itu.  "Saya tidak diajari senyum sama profesor kedokteran saya. Saya tidak diajari menyapa pasien. Saya cuman diajarı nyuntik dan operasi caesar. Diajarin jahit, bayi tabung, tapi tidak diajari soft skill. Sehingga ada dokter yang IPnya 4, tapi ga punya pasien," papar dokter Hasto.

Ia pun memberikan resep sukses."Kalau kita ingin jadi manusia yang  lebih maju, bercita-citalah selalu punya keterampilan baru." Lanjutnya, 

"Kalau kita belajar, kuasai ilmu. Kompetensi tidak cukup, tapi harus profisien, karena profisien itu efisien. Orang yang profisien itu antara dirinya dan keterampilannya menjadi satu."

Salah satu yang ditonjolkan dokter Hasto dalam hal ini adalah kunci menghayati kemiskinan atau penderitaan masyarakat. Tegasnya, itu penting sekali. “Jika anda menghayati kemiskinan, hidup anda tidak akan terbawa pada hedonisme.”

● Revolusi Mindset

Ia juga membekali peserta dengan menegaskan bahwa pemimpin itu harus visioner, hidup sederhana dan ikhlas. "Saya berharap pemimpin ke depan seperti adik-adik punya landasan spiritual yang kuat. Tidak hanya teknokratis saja yang dikuasai."

Diingatkan pula bahwa tidak cukup hanya dengan inovasi sebuah program akan berjalan optimal. Dibutuhkan juga revolusi agar merubah cara pandang dan mendobrak tatanan. "Jangan hanya puas dengan inovasi," ujarnya.

"Kalau mau berubah yang diubah gennya. Gen identik dengan 'mindset'. Kalau yang diubah gennya jadi bagus, insya Allah fenotif (kinerja) nya jadi bagus."

"Itulah harapan kita (akan pentingnya) revolusi mental. Dengan uang yang tidak banyak bisa membawa perubahan yang besar," tutur dokter Hasto yang menyadari bahwa membangun 'team work' bukan kerja mudah.

"Karena sebetulnya IQ team itu jauh lebih berlipat-lipat dibandingkan IQ individu. Sehingga 'move on' penting sekali. Inilah waktunya untuk berubah ke yang tidak mungkin," jelasnya.

Dalam memotivasi para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), dokter Hasto  menilai pentingnya revolusi merubah mindset. Hal itu telah ditunjukkan ketika ia menjabat Bupati Kulon Progo dengan menggelontorkan gerakan 'Bela Beli Kulon Progo'.

“Kita kabupaten miskin, masa uang lari terus keluar. Bela Beli Kulon Progo saat itu semangatnya adalah merebut pasar di negeri sendiri."

Selain itu, dokter Hasto membina kelompok pengelola air bersama PDAM Tirta Binangun dengan memproduksi Air mInum sendiri yang diberi nama AIR KU.

“Nenek moyang kita minum air putih. Semua bikin sendiri. Tidak ada uang yang keluar. Tapi hari Ini, anda minum air putih uangnya keluar ke negara asing. Saya tidak benci asing tapi cinta kemandirian."

Ikut pula diluncurkan Gerakan Pro Beras untuk Kelompok Tani dan Pengusaha Kecil. “Saat itu Bulog kita rayu agar  program raskin berasnya dari  rakyat Kulon Progo. Saya butuh waktu 2011 sampai 2013 untuk melobi Bulog agar bersedia MoU.  Berhasil dan kebutuhan beras disuplai dari petani Kulon Progo. Akhirnya kita bisa Bela dan Beli Kulon Progo."

Agar terserap oleh pasar, dokter Hasto memulai dengan mewajibkan PNS Kulon Progo membeli 10 kilogram beras per orang.  Saat itu jumlah PNS mencapai 7 ribu orang. “Kita beli beras sendiri jangan membeli beras dari luar. Raskin saya ganti jadi Rasda (beras daerah)," jelasnya.

Batu Andesit untuk memenuhi kebutuhan lokal juga diintervensi oleh dokter Hasto saat menjabat Bupati Kulon Progo.  Kala itu ia menginstruksikan agar dilakukan pemasangan  paving block di depan kantor kabupaten.

Berawal dari anggaran yang diajukan ke dokter Hasto begitu besar, karena keramiknya diimpor. "Saya bilang ini uang mau dilarikan ke mana kalau kita beli paving mahal-mahal bikinan asing. Kita kan punya gunung sendiri yang isinya andesit. Ayo andesitnya kita potong sendiri. Kita bentuk 8x8 ukurannya karena desa kita jumlahnya 88. Kita tata. Uangnya akan lari ke rakyat sendiri,” urainya.

"Hal-hal Kecil seperti ini tetap memberikan daya ungkit karena uangnya tidak lari ke luar Kulon Progo," tutur dokter Hasto.

Inovasi berikutnya adalah pembuatan batik. “Ada hampir 120 ribu siswa, kenapa ga bikin batik sendiri, lokal.  Sebelumnya batik yang dibeli dari Tanah Abang. Kita bikin batik sendiri namanya batik geblek renteng. Kita urus HAKI nya."

Berikutnya, koperasi menguasai toko modern. "Kita buat Perda perlindungan produk lokal. Kita buat Perda waralaba berjejaring. Sehingga Alfamart, Indomart tidak ada di Kulon Progo. Gantinya Tomira (Toko Milik Rakyat). Tomira ini yang memiliki koperası. Barang-barang lokal bisa masuk di dalamnya karena yang memiliki koperasi."

Ada pula Teh Wangi Suroloyo. Di Kulon Progo ada kebun teh. Dulu dibawa keluar dalam bentuk daun.  “Jangan dikeluarkan dalam bentuk daun, harus suudah jadi. Kita bikin teh sendiri.”

Gotong royong dengan Singapura terkait kurban dan akikah. Dokter Hasto pun terbang  ke Singapura. Ke Masjid Sulthon. Ia menyampaikan  kalau warga Singapura mau kurban  coba beli kambing di Kulon Progo. Dipotong di Kulon Progo. Dagingnya dibagi ke rakyat Kulon Progo. Uangnya dikirim ke Kulon Progo.

"Nanti pahalanya saya kirim ke Singapura. Alhamdulillah, sejak saat itu hingga saat ini, orang Singapura beli kambing di Kulon Progo, 2600 ekor setiap tahun," ungkapnya. Pemotongan  hewan kurban itu disaksikan lima orang utusan dari Singapura.

"Kalau kita menghayati kemiskinan maka ide itu ada, dan kita jangan punya pamrih.  Jangan punya kepentingan. Orang cerdas kalau punya kepentingan jadi bodoh, karena  ga sempat berfikir kreatif," ujarnya mengingatkan.

Kehadiran bandara di Kulon Progo  juga atas dorongan dokter Hasto selalu Bupati Kulon Progo saat itu. "Waktu itu saya berusaha bagaimana bandara di Yogyakarta pindah ke Kulon Progo. Ini juga ga gampang, karena hanya  diberi Keputusan Presiden boleh pinjam uang ke bank BUMN," terangnya.

● Menjawab Peserta

Dokter Hasto juga menerima berbagai pertanyaan dari peserta. Peserta dari Ambon, Odie, bertanya terkait  penanganan stunting di Provinsi Maluku. Dan kebijakan pencegahan stunting yg dilakukan dokter Hasto saat menjadi Bupati Kulon Progo.

Dokter Hasto mengatakan bahwa menurunkan stunting di Maluku bisa dengan ikan karena  harganya murah, ataupun telur dan sagu.

Adapu  kebijakan dokter Hasto dalam mencegah stunting saat menjadi bupati lima tahun lalu adalah  bekerja sama dengan Taiwan. Seorang profesor bernama Susan bersedia mengajar para bidan. Taiwan juga memberikan USG dan alat-alat untuk memeriksa ibu hamil di puskesmas. Saat itu APBD Kulon Progo terbatas sehingga mencari sponsor.

"Kami dalam rangka menurunkan kematian ibu, bayi dan stunting, maka semua ibu hamil kita koneksitaskan dengan aplikasi ibu hamil namanya BUMILKU. Jadi, kita sudah mengatrol 'by name by address' tahun 2015. Saat itu stuntingnya paling rendah karena kita merawat dari hulu sejak hamil," jelasnya.

Kalau nanti mau direplikasi, menurut dokter Hasto,  caranya sederhana. Bukankah sudah ada Tim Pendamping keluarga di Maluku, lalu  semua ibu hamil  dan yamg mau menikah didata.  Karena mereka yang mau menikah  80 persen hamil di tahun pertama.

Terkakit dengan data  pendukung, dokter Hasto menegaskan  BKKBN mempunyai data keluarga yang siap untuk dipaparkan di masing-masing desa untuk diintervensi.

Selanjutnya dokter Hasto juga menjelaskan tentang strategi dalam menjaga penduduk tumbuh seimbang (PTS). Karenanya, diarahkan agar rerata satu perempuan melahirkan satu anak perempuan. Ini penting untuk menjaga agar pertumbuhan penduduk tetap seimbang.

"Kalau di suatu wilayah ada 1000 perempuan tahun ini, maka 10 tahun lagi tinggal ada 800 perempuan. Maka penduduk akan punah, karena yang bisa hamil dan melahirkan adalah perempuan," ujarnya.

Dengan pengertian lain,  meskipun jumlah laki-laki 1500 orang sementara perempuan 800 orang, menurut dokter Hasto, laki-laki tidak akan menambah jumlah penduduk dan tidak akan melestarikan penduduk. Perempuanlah yang menjadi kunci penduduk tumbuh seimbang.

Sementara  Direktur Utama LPDP RI, Andin Hadiyanto, menyampaikan sebanyak 311 peserta  akan diberangkatkan dari total 11 ribu orang.

Ia juga memberikan apresiasi kepada dokter Hasto yang berkomitmen sejak 2017 untuk mengisi persiapan keberangkatan LPDP demi membuat masyarakat indonesia lebih sehat, cerdas dan sejahtera.*


Penulis: Annisa

Editor: Santjojo Rahardjo

Tanggal Rilis: Rabu, 3 Juli 2024

Source : BKKBN

Posting Komentar

0 Komentar