Dibalik Riwayat Hari Keluarga Nasional, Keluarga Sumber Kekuatan Pembangunan

 

JAKARTA, BKKBN — Hari Keluarga Nasiomal muncul dan digagas setelah diundangkanya  UU nomor 10 tahun 1992 disyahkan oleh Presiden RI setelah disetujui  DPR.

Pengesahan Hari Keluarga Nasional yang sangat penting itu  berlangsung secara bertahap. Para Deputi dan Kepala Biro BKKBN menggelar  rapat khusus dan memilih hari yang dianggap tepat untuk disahkan Presiden RI.

Kepala BKKBN, Prof. Dr. Haryono Suyono, pada waktu menghadap untuk memberi laporan menyampaikan pilihan para deputi  kepada Presiden RI, Soeharto. Sambil tersenyum Presiden  memberi petunjuk agar diselidiki hari-hari penting prajurit dan pra pemuda saat kembali ke tempat masing-masing setelah perang gerilya.

Kepala BKKBN mengerahkan para Deputi dan staf mencari hari yang tepat di mana para prajurit siap-siap mau pulang ke tempat masing masing berkumpul dengan keluarganya, selepas berjuang dan bertempur mempertahankan NKRI dari aneksasi penjajah.

Hari itu adalah tanggal 29 Juni di mana pak Harto, demikian panggilan Presiden HM Soeharto kala itu, memimpin para prajurit kembali kepada keluarga di desa masing-masing dengan penuh ceria. Ada yang di Yogya dan ada yang ke kampung halamannya  di seluruh Indonesia dengan ceria.

Selanjutnya pak Harto menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional untuk diperingati oleh seluruh  keluarga Indonesia di mana saja berada. Di Yogya muncul AMA Perjuangan yang menggunakan Geduang SMA III pada sore hari. Dan muncul beberapa perayaan d Sidoarjoa pal Harto dan Bu Tien memperingati Hari Keluarga Nasional itu secara meriah.

Sebelum ditetapkan Presiden, Kepada Presiden Seoharto, sebelumnya Haryono menyampaikan tiga pokok pikiran. Pertama, mewarisi semangat kepahlawanan dan perjuangan bangsa. Kedua, tetap menghargai dan perlunya keluarga bagi kesejahteraan bangsa. Ketiga,  membangun keluarga menjadi keluarga yang bekerja keras dan mampu berbenah diri menuju keluarga sejahtera.

● Penggagas Hari Keluarga Nasional

Sejatinya, Hari Keluarga Nasional digagas oleh  Haryono Suyono, Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada era kepemimpinan Presiden Soeharto. Hari Keluarga Nasional lalu mendapat legitimasi pada 15 September 2014 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 2014.

Hari Keluarga Nasional ditetapkan  pemerintah karena adanya masalah kependudukan yang meningkat setelah kemerdekaan. Pada saat itu banyak terjadi pernikahan usia muda yang menyebabkan angka kematian ibu dan bayi yang tinggi.

Kala itu di tahun 1945, Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya. Namun situasi bangsa belum begitu kondusif. Bahkan untuk mempertahankan kemerdekaan, diberlakukannya wajib militer bagi rakyat. Hal ini menjadikannya mereka berpisah dengan keluarga.

Melalui perjuangan yang gigih, pada 22 Juni 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia secara utuh. Seminggu kemudian, tepatnya pada 29 Juni 1949, para pejuang kembali kepada keluarganya. Inilah yang juga melandasi lahirnya Hari Keluarga Nasional.

Pada saat itu pengetahuan keluarga tentang usia nikah amat rendah disamping keinginan kuat untuk mengganti keluarganya yang gugur dalam peperangan, mengakibatkan perkawinan dini tinggi. Tentunya kesiapan yang kurang saat menikah dini, sekali lagi,  sangat berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu dan bayi ketika itu.

Tercatat dalam sejarah bahwa tanggal 29 Juni 1970 merupakan puncak kristalisasi pejuang Keluarga Berencana  memperkuat program Keluarga Berencana. Tanggal tersebut dikenal dengan tanggal dimulainya Gerakan KB Nasional. Hari itu sebagai hari kebangkitan keluarga Indonesia. Hari bangkitnya kesadaran untuk membangun keluarga ke arah keluarga kecil bahagia sejahtera melalui Keluarga Berencana.

Selama kurun waktu dua puluh tahun, telah banyak keberhasilan program KB. Termasuk menjadi tempat pembelajaran bagi negara-negara lain. Program Kependudukan dan KB berhasil meraih penghargaan UN Population Award.

Penetapan 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional  juga dilatarbelakangi pemberian penghargaan kepada rakyat Indonesia yang telah berjuang merebut dan mempertahankan RI dengan meninggalkan keluarganya.

Hari Keluarga Nasional sendiri  dimaksudkan untuk mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia akan pentingnya keluarga sebagai sumber kekuatan  membangun bangsa dan negara. Keluarga diharapkan menjadi sumber yang selalu menghidupkan, memelihara dan memantapkan serta mengarahkan kekuatan tersebut sebagai perisai dalam menghadapi persoalan yang terjadi.

● Optimalisasi

Tanggal 29  Juni sebagai Hari Keluarga Nasional memang belum terlalu luas dikenal masyarakat. Bahkan aparat pemerintah pun banyak yang belum mengenal bahwa republik ini memiliki Hari Keluarga Nasional.  

Upaya memasyarakatkan Hari Keluarga Nasional perlu lebih dioptimalkan. Di lain pihak,  rasa memiliki akan hari keluarga harus ditumbuhkan. Masyarakat harus dapat merasakan manfaat kehadiran Harganas. Instansi pemerintah harus dilibatkan dan bertanggung-jawab terhadap pengenalan dan sosialisasi Harganas.

Hari Keluarga Nasional kerap diindentikkan dengan Keluarga Berencana (KB). Akibatnya, segala hal yang berkaitan dengan Harganas seakan-akan menjadi tanggung jawab BKKBN. Padahal tidak sebatas itu. Harganas milik seluruh anak bangsa.  

Beberapa negara lain, juga memiliki Hari Oeluarga (Family Day). Cara memperingatinya beraneka ragam. Amerika mengenalnya dengan istilah Family Day (Hari Keluarga). Pertama kali mereka memperingatinya pada hari Minggu pertama bulan Agustus 1978.  Afrika Selatan juga mengenal Hari Keluarga sejak 1995. Australia mendeklarasikan Hari Keluarga pada Selasa minggu pertama November 2007,  saat pelaksanaan Melbourne Cup. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1994  menetapkan 15 Mei sebagai Hari Keluarga Internasional.

Walaupun tanggal pelaksanaan berbeda,  secara umum di negara-negara tersebut Hari Keluarga dimaknai sebagai hari berkumpulnya anggota keluarga. Ayah, ibu dan anak-anak makan bersama. Saat anggota keluarga berkumpul diharapkan dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dalam keluarga.

Karena tujuannya untuk menumbuhkan rasa kebersamaan,  maka ada yang mendefinisikan bahwa Hari Keluarga tidak hanya untuk keluarga; tetapi hari yang dirayakan untuk berbagai komunitas termasuk bisnis dan kelompok masyarakat tertentu.

Harganas juga ditujukan untuk menghidupkan fungsi-fungsi yang ada dalam keluarga. Keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan atau fungsi ekonomi semata, tetapi terdapat fungsi-fungsi lain yang tidak kalah pentingnya.  

Lamanna dan Riedmann (1991) mengungkapkan ada tiga fungsi yang harus dijalankan oleh suatu keluarga yaitu fungsi reproduksi yang bertanggung jawab, fungsi dukungan ekonomi dan fungsi perlindungan emosional.

Undang-Undang  Nomor 10 Tahun 1992 dan PP Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa minimal ada delapan fungsi yang harus dijalankan oleh suatu keluarga, yaitu  fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, pendidikan, ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan. (Dari berbagai sumber)*

Penulis: Haryono Suyono/Santjojo Rahardjo

Editor: Anie

Source : BKKBN

Posting Komentar

0 Komentar