Perkembangan bahasa pada bayi dimulai dengan menangis, bubbling, hingga pada kisaran usia 5 tahun. Sejak mulai belajar bicara, berkata hingga membuat kalimat, tak jarang anak balita juga sering melontarkan berbagai macam kalimat tanya/pertanyaan yang tak henti-henti. Umumnya, anak-anak mulai sering mengajukan pertanyaan saat menginjak usia 2–3 tahun.
Pada usia ini, rasa ingin tahu anak semakin meningkat dan ia mulai memahami konsep sebab-akibat. Mengajukan pertanyaan adalah cara yang efektif bagi anak untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang dunia di sekitarnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini terkadang membuat orang dewasa disekitarnya tertawa atau bahkan bingung bagaimana harus menanggapinya.
Walau terkadang pertanyaan anak ini terdengar konyol atau sepele, penting sebagai orangtua dan orang dewasa di sekitarnya, untuk sebaiknya tidak menjawab pertanyaan anak asal-asalan atau bahkan marah jika anak bertanya berulang-ulang kali.
Bagi anak, jawaban yang ia dengar dari orangtua atau orang dewasa atas apa yang ia tanyakan menjadi 'schema' yang akan melekat hingga ia dewasa. Tak hanya itu, bagaimana respon orangtua juga menjadi kunci yang turut berperan agar anak dapat mengembangkan rasa ingin tahu dan bersikap kritis.
● Skema
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa schema atau skema adalah kategori pengetahuan dan proses memperoleh pengetahuan itu. Saat pengalaman terjadi, informasi baru yang diperoleh akan digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengubah skema yang sudah ada sebelumnya. Skema adalah kerangka kerja kognitif atau konsep yang membantu mengatur dan menafsirkan informasi.
Manusia menggunakan skema karena hal tersebut memungkinkannya mengambil jalan pintas dalam menafsirkan sejumlah besar informasi yang tersedia di lingkungannya (https://piaud.fitk.uin-malang.ac.id/konsep-penting-pemikiran-piaget/).
Penulis pernah membaca sebuah tulisan tentang dialog singkat antara Presiden RI yang ke-3 (alm) BJ Habibie dengan ayahnya. Respon ayah beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan Habibie kecil disinyalir menjadi salah satu stimulus yang membuat Habibie tumbuh menjadi anak yang kritis dan cerdas.
Jawaban sang Ayah : “Papi sedang melakukan eksperimen. Jadi, kita bisa menemukan jawaban dari percobaan. Nah, ini namanya stek. Batang yang di bawah itu adalah mangga yang ada di tanah kita, tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa. Jadi, batang mangga dari Jawa papi gabungkan dengan batang yang di bawah ini.”
Dari dialog singkat tersebut, terlihat bahwa sang ayah tidak menjawab asal-asalan pertanyaan Rudy yang baru berusia tiga tahun. Beliau menjawab dengan serius dan secara tidak langsung menanamkan nilai jika gagal membuat sesuatu bisa mencoba cara lain.
Bagaimana jika pertanyaan ini datang dari anak kita? Mungkin banyak dari kita yang akan menjawab seadanya atau bahkan melontarkan kalimat pamungkas, “Anak kecil, diam saja, pergi main, ini urusan orang dewasa”.
Sebagai orangtua dan orang dewasa di sekitar anak, cara kita berbicara dengan anak mempengaruhi kecerdasannya. Salah satu studi dari Boston University menunjukkan bahwa cara orangtua atau orang dewasa di sekitar anak menjawab dan memberi penjelasan atas pertanyaannya berdampak pada proses belajar anak.
Non mechanistic language adalah tipe jawaban yang 'to the point' tanpa penjelasan detail bagi anak. Sedangkan mechanical language and circular response tidak hanya sekedar menjawab tapi juga menjelaskan jawaban tersebut secara detail. Sehingga anak mendapatkan informasi baru dari jawaban yang ia dapatkan.
Dari tiga contoh percakapan singkat di atas, terlihat bagaimana tipe jawaban mechanistic language and circular response dapat memberikan nilai lebih dari sekedar menjawab pertanyaan anak.
Beberapa manfaat/keuntungan yang dapat diperoleh anak ketika orangtua atau orang dewasa di sekitarnya menerapkan pola jawaban dengan tipe mechanistic language and circular responses adalah anak mendapatkan kosakata baru.
Dari penjelasan yang detail, anak berkesempatan mendapatkan referensi kata baru seperti pada contoh dialog 1 di atas. Ada kata energi, tenaga.
Lalu bagaimana jika anak mengajukan pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh orangtua karena ketidaktahuan orangtua atas pertanyaan tersebut? Penulis dalam pengalaman pribadinya mengasuh dua orang balita kerap menemukan pertanyaan-pertanyaan dari anak yang penulis secara pribadi tidak tahu atau tidak yakin dengan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Suatu hari, anak penulis Sophie (saat itu berusia 5 tahun) bertanya kenapa ruangan di dalam rumah hanya kamar dan kamar mandi yang menggunakan kata kamar, sedangkan ruangan lain tidak menggunakan kata kamar pada awal penamaan ruangan? Seperti dapur hanya dinamakan dapur tidak dikatakan kamar dapur, ruang tamu tidak dikatakan kamar ruang tamu tapi hanya disebut ruang tamu.
Apakah sebagai orangtua atau orang dewasa jika berada dalam kejadian tersebut menjawab pertanyaan anak dengan berbohong? Atau memberi jawaban klise? Sekali lagi, jawaban/respon orangtua atau orang dewasa turut mempengaruhi schema serta pandangan anak akan dunia/proses dan pengalaman belajarnya.
Orangtua atau orang dewasa terkadang ingin selalu terlihat sempurna di mata anak atau takut jika anak kurang menghargai dirinya jika menunjukkan kekurangan di depan anak (dengan tidak dapat menjawab segala pertanyaannya). Padahal, jawaban yang terbaik adalah berkata jujur dan mengajak anak untuk bersama-sama mencari tahu apa yang menjadi jawaban atas pertanyaan anak tersebut.
Dengan berkata jujur, anak akan belajar bahwa menjadi orangtua atau orang dewasa tidaklah berarti menjadi orang yang tahu segalanya. Orangtua maupun orang dewasa di sekitarnya juga butuh belajar untuk tahu. Belajar adalah aktivitas sepanjang hayat yang harus terus dilakukan oleh individu.
Anak juga dapat belajar bahwa jujur atas ketidaktahuan kita akan sesuatu bukanlah sesuatu yang salah. Itu adalah hal yang wajar dengan catatan mau belajar dan mencari tahu.
Pada saat mendapatkan pertanyaan itu oleh anak penulis, penulis menjawab dengan jujur, jika penulis tidak mengetahui jawaban yang pasti atas pertanyaannya. Penulis meminta anak bertanya pada guru atau orang lain dan penulis juga akan berusaha menemukan jawaban pertanyaan tersebut.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui sumber informasi yang diperoleh anak. Selain itu, cara ini penulis lakukan untuk mengulur waktu menyusun jawaban yang sesuai dengan pemahaman anak.
Dengan melontarkan kembali pertanyaan yang ditanyakan anak kepadanya juga untuk mencari tahu apakah sebenarnya anak sudah tahu apa yang ia tanyakan? Karena, seringkali anak sudah memiliki jawaban sendiri, namun ia ragu dan membutuhkan kebenaran atas apa yang ia pahami. Sehingga ia menanyakan kembali hal tersebut kepada orangtua atau orang dewasa di sekitarnya.
● Melakukan eksperimen bersama anak untuk bersama-sama mendapatkan jawaban
Salah satu kegiatan yang menyenangkan untuk menjawab pertanyaan anak adalah dengan bersama-sama melakukan kegiatan eksperimen. Selain mendapatkan jawaban, anak mendapatkan pengalaman baru serta dapat menjalin ikatan emosi (bounding) dengan orangtua atau pengasuh.
Satu hal lagi yang menjadi ciri khas bagi anak balita saat bertanya yaitu menanyakan hal yang sama berulang-ulang kali. Tak jarang, orangtua atau orang dewasa di sekitarnya menjadi bosan atau bahkan kesal karena harus menjawab hal yang sama berulang kali.
Strategi yang dapat digunakan orangtua saat menjawab pertanyaan anak yang berulang adalah menjawab pertanyaan sesuai fakta dan konsisten.
Jika anak mendapatkan jawaban yang berbeda-beda dari pertanyaannya yang sama, anak akan merasa bingung dan akan kembali bertanya untuk mendapatkan jawaban yang pasti.
Yang harus selalu menjadi catatan penting untuk diingat oleh para orangtua maupun orang dewasa di sekitar anak adalah apapun pertanyaan yang dilontarkan oleh anak, hendaknya ditanggapi secara positif. Tanamkan dalam benak anda bahwa ini merupakan salah satu masa keemasan/golden period untuk belajar. Baik itu belajar akan perbendaharaan kata, logika, serta menjadi cara bagi anak membangun kemampuan berpikirnya.
Memiliki anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi merupakan salah satu ciri dari anak yang cerdas. Sebagai orangtua maupun orang dewasa di sekitar anak, menjadi tanggungjawab kita untuk menanamkan pola pikir/mindset positif saat menghadapi anak pada masa-masa tersebut.
Selain itu, orangtua dan orang dewasa di sekitar anak juga perlu untuk menambah pengetahuan dan wawasan agar dapat mengimbangi dan memberikan jawaban yang benar atas apa yang ditanyakan oleh anak.
Catatan terakhir dari penulis, selain tips yang sudah dipaparkan di atas, para orangtua harus sabar menghadapi 1001 tingkah laku balita yang kocak dan sering bikin geleng-geleng kepala. Ingatlah bahwa masa/periode ini tak kan terulang lagi dalam masa perkembangannya.
Kelak akan ada masanya orangtua tak lagi merupakan satu-satunya pusat/central dalam hidupnya. Untuk itu, bersabar dan nikmatilah keajaiban fase ini. Serta tak lupa berdoa agar anak-anak kita dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat dan kuat menghadapi masanya nanti.*
0 Komentar